the songs you’ve introduced me to

zu-ru
7 min readDec 22, 2023

--

Katanya Coldplay akan konser di Jakarta November mendatang. Seluruh media sosial gue sudah ramai dengan jasa-jasa jual tiket konser, perdebatan gak penting yang lumayan lucu, dan tentunya teman-teman yang kalang kabut mikirin cuti dan tiba-tiba harus nambah budget hiburan. Happy for you all. Gue sarankan untuk diusahakan jika ada dana dan waktunya, karena gue nonton awal tahun ini dan gue bisa bilang 9/10 untuk experience serta euforianya–minus satu karena otak tolol gue dan perasaan yang ke mana-mana.

Seseorang mengenalkan gue kepada musisi ini di tahun 2014. Klarifikasi sejenak, gue udah kenal sebelumnya, sekadar lagu-lagu mereka yang paling terkenal semacam Yellow, Fix You, dan personal favorit gue Viva La Vida. Sekadar itu, sekadar tahu.

Kemudian datang Adisa, teman ospek gue di masa kuliah, dan bertahan sampai dua kepanitiaan lainnya di kampus.

Adisa yang mencintai sampai ke ulu —

untuk banyak hal, dan salah satunya, musik ini.

Barangkali itu yang menyebabkan kenapa jatuh cinta dengan musik Coldplay yang belum gue dengarkan begitu mudah, seolah mengunjungi kembali halaman belakang yang setiap jengkal tanahnya pernah gue pijak, kembali pada sesuatu yang gue kenal; sebab gue telah jatuh sayang pada kisah-kisah dibalik lagu yang dituturkan oleh Adisa. Dia baca interview album ke album, menilik cerita di balik nyanyian, dan mengutip kata-katanya sendiri, “memahami manusia dan selusin perasaan yang dibagi — dan sebagiannya disembunyikan.”

“Is it the lyrics?

Gue pernah bertanya, kira-kira jam satu pagi, setelah bubaran acara olimpiade kampus dan kita mampir di salah satu angkringan — yang untungnya — masih buka di pinggir jalan Margonda, walaupun menunya tinggal ayam geprek. Adisa duduk di seberang gue. Baru menyelesaikan setengah porsi nasinya, padahal gue yang makan dua kali lipat udah menumpuk piring gue. Rambutnya digulung, sweater kebesaran minjem punya gue, dan tangan mencocol sambal ekstra pedas — buat menekan emosi abis disuruh-suruh katanya.

“Kenapa?” tanyanya balik.

“Itu, yang ngebuat lo suka sama Coldplay, liriknya?”

“Mungkin.”

Gue berdecak setengah cemberut, “Kok mungkin?”

Adisa tertawa ringan di antara kunyahan ayam penyetnya sebelum menjawab.

“Liriknya sederhana dan diulang-ulang, semisal gue bilang bagus pun kalau orang ngomongin lirik yang cantik itu soal diksi dan ceritanya, gue gak akan nyuruh mereka dengerin Coldplay.” Adisa berhenti sejenak untuk motong ayamnya sebelum melanjutkan, “But it is the lyric also, the honesty, yang enggak mengada-ngada, cuman sebagai orang biasa yang menyadari kalau dunia ini banyak dukanya. Lirik yang dibuat orang bangun subuh karena mimpi buruk, gak bisa ngomong koheren, tapi tetap menuliskan isi kepala — yang diulang-ulang, berantakan.”

“Kedengeran — “

“Sedih?”

Gue mengangguk.

“Most of their songs are, even the happier ones. Semacam Swallowed in The Sea atau Yellow.”

“Hmmm, gue gak bisa bilang Swallowed in The Sea sebuah lagu yang hepi.”

Adisa mengangguk seolah bilang exactly, itu mengapa lagu yang bahagianya tetap menyelipkan realita soal dunia, yang ada manis pahitnya, adalah lagunya.

Kemudian, ia melanjutkan makan, dan diam. Membiarkan lengang jalan raya dan dua tiga deru mesin motor yang mengisi spasi kami. Soalnya, Adisa suka seperti ini, enggak banyak bicara waktu pulang kelewat malam, apalagi saat makan. Sementara gue suka menyediakan nyaman untuk Adisa, jadi gue membiarkan diam.

Lantas ia lagi yang membuka mulut setelah menghabiskan teh tawar, melangkah mundur ke obrolan kami tadi.

“Karena melodinya, Ma. It is easy to digest. Seklise kedengarannya, gue hanyut dibawa dari ketuk ke ketukan selanjutnya, perlahan, sepatah demi patah kata kemudian lagunya habis, dan lagu berikutnya hadir.” Gue bergeming, menanti penjabaran selanjutnya–tapi yang datang malah pertanyaan. “Lo? Kenapa lo suka?”

Gue enggak tau semenjak kapan titel Adisa — sebagai temen dekat gue selama masa-masa ospek — berubah menjadi orang yang waktunya ingin gue pinjam banyak-banyak, di masa kuliah sampai sekarang — dan mungkin yang mendatang — sampai Coldplay udah bosen nyanyi.

Barangkali ini karena kebiasaan, barangkali karena waktu itu gue udah mau lulus dan ternyata memikirkan pisah dari Adisa, rasanya mengenaskan.

Gobloknya lagi, gue baru sadar waktu Hansa menyuguhkan ketololan gue di depan mata.

“Lo udah siap LDRan?”

Gelas teh hangat belum sempat bertemu bibir dan gue paksakan untuk turun kembali bertemu meja kantin–kalau minum gue malah takut keselek. “Sama?”

Hansa berdecak. “Lo ada prospek cewek selain Adisa?”

“We’re good friends.

“You were best friends, until you crossed so many lines my hands can’t count.

Boundaries orang kan beda-beda, Han.”

“Iya, gue setuju. But tell me you never, both of you never thought of crossing it. Not when you sang a love song when you passed her by in a corridor, a Jatuh Hati by Raisa at that, and when she sang the next lyric with a small laugh. Not when you stopped doing your assignment for a quarter hour just to watch Adisa falling asleep on the couch, didn’t even hear the rest of us.” — Hansa menunjuk Gemana galak dan menekankan suaranya waktu Gemana terlihat siap menampik semua tuduhan sangat berdasar tersebut — “AND tell me that you don’t think of Adisa or falling in love with her everytime you rediscover a Coldplay’s song.

Gue berpikir dan tidak menjawab apa-apa lagi dari Hansa — dan gue bersyukur cowok bajingan itu punya kesopanan untuk enggak mengulik lebih jauh lagi, barangkali juga karena akhirnya ayam kremes kita datang. Kendati demikian, kita berdua tahu kalau semua omongan dia benar adanya.

Gue jatuh suka pada Strawberry Swing dan kesempatan menengok bahagia di masa lalu — sebab menyenandungkan liriknya gue jadi ingat ayunan kecil di belakang rumah yang sering adik gue mainkan, dan bagaimana dari sini gue tahu Adisa punya kerabat kecil yang enggak ia temui lagi semenjak pindah ke Jakarta. Dari A Rush of Blood to the Head, gue mengenal Adisa, yang ujung bibirnya akan melengkung hampir tertawa ketika menggigit donat yang begitu enak.

Gue jatuh untuk yang kedua kalinya untuk Yellow, sebab Adisa menulis ulang arti di balik lagu tersebut untuk gue. Barangkali, di jalur kehidupan yang lain, ketika gue adalah seorang pemusik yang dapat memetik gitar dan melantunkan lagu di atas panggung, Adisa ini yang akan gue elu-elukan di setiap silabel musik tentang kekasih. I wrote a song for you and all the things you do*, akan gue ceritakan soal rekaman yang ia kirimkan sebelum subuh dan gue putar pada malam-malam berikutnya, gue agungkan tawanya yang meluruhkan kisruh di kepala gue dan yang gue jadikan danau untuk tenggelam, dan akan gue akui pada dunia alasan kenapa Adisa sangat banyak memiliki foto gue tengah tertawa — karena ia yang berada di balik kamera tersebut.

Gue jatuh cinta pada Adisa, kemudian pada musik-musik Coldplay karenanya.

Perpisahan gue dengan Adisa enggak terjadi begitu saja.

Masih gue yang menemani dia ngurus berkas-berkas Visa, bolak-balik ke embassy, dan nemenin makan waktu sibuk ngurusin persiapan pelatihan untuk diplomat satu tahun seusai kuliah. Dia juga yang dulu bolak-balik nemenin gue ke Jogja dan Bandung buat cari kulit sapi dan segala tetek-bengeknya — satu dari sedikit yang enggak menuding gue karena meninggalkan ijazah sarjana berdebu di lemari demi bikin usaha.

But the inevitable came, always.

Dari Adisa yang cuman membalas gue saat matahari telah terbenam di London, dari gue yang membalas beberapa kali seminggu. Kemudian kami yang akan mengulang maaf berulang kali. “Maaf gue baru sampe rumah,”, “maaf gue ninggalin handphone gue di workroom,”, “sorry gue gak bisa buka chat selama briefing,” dan maaf maaf lainnya yang udah enggak terhitung jari. Sampai, tidak ada lagi maaf, dan hanya memahami kalau waktu gue dan Adisa menjadi teman dekat cuma ada di masa kuliah.

Udah dua tahunan gue enggak kontakan intens lagi sama Adisa, yang kita lakukan sekarang sekadar balas-balasan Instagram Story dan nanya, “dateng gak?” kalau diundang ke nikahan teman atau ada acara kumpul-kumpul kampus — kalau yang kedua biasanya jawabannya enggak, dan berlanjut sedikit nostalgia atau update on our friends’ life slash gosip. Dua tahun ini juga, gue udah deket sama beberapa cewek lain, walaupun naas nasib gue yang sampai pacaran cuman satu dan bahkan enggak menyentuh setengah tahun, sementara Adisa — kayaknya — udah punya pacar — yang sangat jarang diumbar.

Kendati demikian, namanya juga cinta pertama yang benar-benar wah delapan tahun enggak bersih move on, gue ngontak Adisa, nanya-nanya soal Coldplay November. Siapa tahu kita bisa pergi bareng.

Gue lumayan pesimis sejujurnya, mengingat urusan diplomatik negara yang ditanggung oleh Adisa mengharuskannya untuk bepergian kesana kemari, entah dia ada waktu untuk ke Jakarta atau enggak di November mendatang. But we’ll never know if we never try, right? Hitung-hitung usaha untuk menimpa memori nonton gue yang ada sedikit kedengkian karena Davin bawa ceweknya — ya, walaupun kita nyanyi seru-seruan bertiga.

Tapi ada beberapa hal yang memang tidak bisa dipertahankan; pertemanan ini, kebersamaan yang lalu, dan angan-angan untuk konser bareng. Lantaran waktu Adisa bilang dia enggak bisa ke Jakarta dan perlu bertanya sama pacarnya untuk nonton di stadium yang lain, gue tahu gue lebih baik mundur.

Adisa pernah nangis-nangis waktu pertama kali Coldplay merilis album Ghost Stories mereka di tahun 2014 silam. Album ini, walaupun tidak pernah dikonfirmasi oleh vokalis yang bersangkutan, bagi Adisa adalah album berisi lagu-lagu patah hati yang begitu menenangkan. Bagaimana di akhir sebuah hubungan, tidak ada caci maki dan keinginan untuk menjebloskan mantan ke neraka, tapi hanya ada ini;

And I just got broken, broken into two, and still I call it magic when I’m next to you**,

atau,

You’re always in my head, always in my head … this, I guess is to tell you, you’re chosen out from the rest***.

Seandainya gue punya kontak manager artis atau gue sendiri adalah orang terkenal, gue mau coba telepon Chris Martin dan kawan-kawannya demi bertanya bagaimana caranya mereka bisa menuliskan sebuah lagu yang berpasrah dalam kepatah-hatian, yang membiarkan rasa sayangnya hilang perlahan oleh sakitnya perpisahan, dan masih menyayangi kendati ada jantung yang tidak lagi sama — yang hanya mengharapkan hal-hal baik dan masih mengagungkan ia, “you’re still the precious jewel****.” Soalnya kalau gue sendiri, walaupun bagian terakhir benar, tapi kadang rasanya gue udah enggak ingin menyayangi Adisa dalam bentuk apa pun, semacam, harapan.

We fell apart, and I want myself to fall apart completely, with no string left attached.

Mungkin itu juga ya, yang membedakan gue sama vokalis Coldplay, selain dia jauh lebih kaya raya, dia udah selesai mencintai yang pernah lalu dan mencintai dalam bentuk baru — pertemanan, co-parenting, shared interest — sementara gue masih terjebak di Adisa yang dulu.

Sebagaimana Adisa dihanyutkan lagu, sebagaimana gue dihanyutkan waktu. Tahu-tahu, cerita soal Adisa selesai. Namun kotak musik gue berhenti, masih malu untuk mendengarkan lagu selanjutkan, betah pada judul nama Adisa Maharani.

  • * : Yellow by Coldplay
  • ** & ****: Magic by Coldplay
  • ***: Always in My Head by Coldplay

--

--

zu-ru
zu-ru

Written by zu-ru

0 Followers

when the night falls to the lake

No responses yet