cw // death of a parent
“Lo beneran ke Indonesia cuman buat ngurus dokumen SIM?”
Ranu duduk di kursi penumpang, sementara Nona, perempuan yang menjemputnya dari Bandara Soekarno-Hatta, duduk di kursi kemudi. Mungkin keliatan kurang keren ada laki-laki seperti Ranu, yang udah jauh-jauh jadi auditor di Dubai, terus saat pulang malah ongkang-ongkanG kaki dan dimanja oleh perempuan. Tapi, sebagian percaya dan nyaman Ranu ke Nona adalah begini bentuknya, dan sebagaimana yang Nona bilang, SIMnya mati — dia lagi enggak mau berjudi dengan luckiness, takut tiba-tiba ditilang polisi.
“Iya,” jawab Ranu. “Kenapa lo enggak percaya?”
“Ranu, kita tau lo pinter dan lo bisa minta gue atau Diosi untuk ngambilin SIM lo, terus nanti dikirim ke alamat lo di Dubai. What are you up to, in Jakarta? Something’s wrong?”
Ranu tertawa. Nona masih cerewet, masih menganggap Ranu perlu banyak dikhawatirkan.
“Enggak ada. Tapi kalo gue ganti SIM, berarti gue harus ganti SIM internasional juga, and it’s damn difficult doing that one online. Lo paham ‘kan betapa susahnya birokrasi di sini? So, gue sekalian aja ngambil SIM gue di Indo terus lusa ngurus buat yang internasional, itung-itung,” — lidah Ranu, di luar kontrol, tiba-tiba berseloroh — “kangen juga.”
Untuk sepersekian detik, napas Nona tersendat, sama kagetnya dengan Ranu — yang kini mengatupkan bibirnya rapat-rapat, enggak mau bablas menyuarakan pemikirannya yang seharusnya jadi rahasia. Namun, melihat jemari Nona yang mengerat di setir kemudi dan ekspresi yang berubah panik, Ranu sadar kalau Nona punya pemahaman yang berbeda darinya — dan ia enggak tega membiarkan Nona merasa bersalah.
“Bukan sama ibu atau bapak,” Ranu tersenyum kecil, menambahkan.
Kini ekspresi kaget yang berbaur dengan rasa bersalah di pipi Nona menghilang, digantikan kebingungan. Ia menoleh sesaat ke arah Ranu, begitu sebentar, enggak bisa lama-lama kehilangan fokus dari lajur pintu keluar Tol Dalam Kota yang tinggal beberapa belasan meter lagi.
“Sama apa dong?”
Ranu enggak langsung menjawab.
Beberapa minggu yang lalu, Ranu juga sama bingungnya. Waktu ia cari-cari soal info perpanjangan izin mengemudi internasional di UAE dan website tersebut bilang kalau ia harus perpanjang di negara asalnya, Ranu enggak berkata kasar seperti yang udah-udah ketika ia dipaksa pulang untuk hal gak penting.
Mimpinya menetap dan membangun keluarga di kampung halaman telah kandas beberapa tahun lalu. Waktu bapak Ranu meninggal, dan seminggu setelahnya, keluarga besar sang bapak lebih memilih bertengkar soal warisan dibanding bertanya apakah Ranu dan ibunya baik-baik saja. Ranu baru selang beberapa bulan lulus SMA, ia masih butuh bimbingan seperti waktu ia kecil, bukannya perbincangan soal harta, pengadilan, pembagian kebun jati, dan segala macam tetek bengek yang enggak penting. Kalau mengembalikan rumahnya bisa membangkitkan bapak, Ranu enggak bakal pikir dua kali. Gila gimana orang-orang lupa darah ketika dihadapkan dengan uang.
Di masa itu Ranu tahu, seluruh fotograf dirinya yang tertawa di gendongan om tante sewaktu ia kecil akan menjadi fana, akan menjadi pengingat dari kehancuran ini dibanding masa kecilnya yang menyenangkan.
Namun, menilik masa tersebut kembali, di pertengkaran soal warisan itu juga Ranu sadar kalau penyokong dunia lebur dan kakinya tidak lagi mampu menahan beban sendiri, ada Nona yang akan meminjamkan kedua kakinya untuk sejenak menopang tubuh mereka berdua di saat bersamaan. Nona ini yang menggandeng tangannya kembali pertama kali saat Ranu kembali ke Jakarta setelah beberapa tahun menetap di Jogja, Nona juga yang setia meremat jemarinya sebelum jadwal persidangan dimulai. Nona, yang memberikan setengah pundaknya sebagai tempat Ranu menenggelamkan wajah, membiarkan air mata Ranu mengalir sampai ia puas.
Hancurnya pertama kali ada karena kematian bapaknya dan bangkitnya hanya untuk ibu, tapi bangkitnya pun tidak akan ada jika Nona tidak bersamanya.
Ranu enggak punya alasan pulang ke Jakarta; keluarga ibunya masih banyak tinggal di Semarang; adik dan sepupunya ada di berbagai tempat di Indonesia dan dunia, kebanyakan masih menempuh studi di kampus; teman terdekatnya, Diosi dan Iksa, udah beberapa kali berjumpa dengannya di Dubai, atau entah saat Iksa sedang manggung di negara lain. Hati Ranu di Jakarta sudah hampir habis. Hampir. Sebab yang mengisi rongga jantungnya paling luas dan menyesakkan, yang terkadang menjadi alasannya enggak bisa tidur karena menghitung tawa canda mereka di masa lalu, masih ada di Jakarta.
Bernama Nona.
“Kangen kamu, Nona.”
Nona memberhentikan mobilnya di gang depan rumah ranu, lantas seketika menatap lekat Ranu. Di sana Ranu bisa melihat kaget dan mulut Nona yang enggak bisa mengeluarkan balasan apa-apa.
Ranu tersenyum.
Jadi begini ya rasanya mengakui kalau ia jatuh hati pada teman yang selalu menyaksikan ia tumbuh besar, menyambut masa depan bersisian, sedari mereka kecil.